"Mbah, niki kake'en" dalam bahasa jawa yang artinya "Mbah, ini terlalu banyak" keluhku sambil menggerutu dan mengeluarkan beberapa ikat pete dari dalam kardus.
Aku memang penyuka pete, tapi tidak sebanyak ini. Dalam hatiku. Satu kardus pete. Pete memang makanan terlezat no 1 didunia bagiku, tapi tidak sebanyak ini juga.
"Kamu itu, kalau mbah beri, selalu saja begitu. Nantikan kamu kan bisa bagi-bagi sama teman-temanmu di kost"
Sebenarnya bukan masalah beratnya aku membawa ini, tapi masalah mbahku yang sudah tua dan tak memiliki uang, namun selalu senang membelikan aku macam-macam setiap kali aku selesai menghabiskan waktu liburan aku di desa karang malang, wonosobo, Jawa tengah ini.
"bukannya begitu mbah, uangnya sayang jika dibelikan pete sebanyak ini, uang yang mama kirim itu buat makan mbah, bukan disimpan-simpan atau dibelikan gini"
Mendengar aku berbicara begitu, raut wajah mbahpun langsung berubah dibalik kerutan wajahnya. Aku tau dia marah. Karena aku tau itu membuatnya marah, dengan segera ku ambil tali rapia yang berada dilantai, dan kuraih kardus berisi penuh pete itu. Kumasukan kembali pete yang tadi aku keluarkan.
Wanita berusia 75 tahun itu masih setia dengan adat jawa yang menjadi jati dirinya, balutan kain batik, kebaya dan gelungan rambut panjangnya masih jadi simbol kelembutan wanita jawa. Pernah beberapa kali membujuknya menggunakan daster barang hanya dirumah, beliau menolaknya dengan keras. "Seperti orang apa saja, tidak patut"
"monggo bu, mampir" katanya setiap kali pada orang yang lewat didepan rumah, sekalipun mata beliau sudah tidak mengenal jelas siapa yang dimintanya mampir.
"besok kamu jenguk aku ya, kalau aku sudah di pontianak, di tempat bulekmu" kata terakhirnya sebelum perpisahan kami, saat mama akan mengantarkannya ke pontianak untuk tinggal bersama bulek.
"Enggeh mbah, mengkin ketemu maleh" jawabku ringan.
Hari itu aku datang, mbah putriku seorang wanita yang kuat, bahkan penyakitnyapun disembunyikan agar kami tidak pernah kuatir akan keadaannya.
Lengkap dengan kebaya, jarik batik kesayangannya dan gelungan rambut wanita jawa khas dirinya, dan cincin emas miliknya, dia menyambut aku datang di provinsi Kalimantan Barat itu. Tepatnya Desa Sosok, di pedalaman Kalimantan Barat itu tetap tidak dapat memisahkan adat jawa itu dari dirinya. Dengan senyum dan ketenangannya, wajah yang sama kulihat seperti ketika ia tidur.
"Mbah, Tangi o, Tiyan sampun rawuh"
Namun Mbah Putriku tak kunjung bangun.
No comments:
Post a Comment