Septie's Pages

Saturday, October 15, 2016

Review Buku: Let me be a Woman (Elisabeth Elliot)

Judul buku          : Let Me be a Woman
Penulis                : Elisabeth Elliot
Penerjemah        : Herlina Julenta
Cetakan               : Pertama Juni 2013
Penerbit               : OMID Publishing House
Jumlah halaman: 191

Daftar isi:
1. Allah yang memegang kendali
2. Bukan siapa aku tapi milik siapa aku?
3. Dimana jiwamu digantungkan
4. Seorang anak perempuan, bukan anak laki-laki
5. Penciptaan - Wanita untuk pria
6. Ubur-ubur dan kebanggaan
7. Kebanggaan yang benar
8. Beban sayap
9. Kehidupan lajang-sebuah anugrah
10. Sehari demi sehari
11. Rasa percaya dalam perpisahan
12. Disiplin pribadi dan keteraturan
13. Peperangan siapa?
14. Kebebasan melalui disiplin
15. Allah tidak membuat perangkap
16. Prinsip yang berparadoks
17. Maskulin dan feminim
18. Jiwa yang feminim
19. Apakah penundukan diri memasung kita?
20. Dua puluh pertanyaan
21. Pilihan adalah batasan
22. Komitmen, rasa syukur, kebergantungan
23. Engkau menikahi seorang pendosa
24. Engkau menikahi seorang pria
25. Engkau menikahi seorang suami
26. Engkau menikahi seorang pribadi
27. Meninggalkan yang lain
28. Dinamis tidak statis
29. Sebuah kesatuan
30. Sebuah cermin
31. Sebuah pekerjaan
32. Apa yang membuat pernikahan berhasil
33. Penerimaan akan keteraturan surgawi
34. Kesetaraan adalah bukan hal yang ideal dalam kekristenan
35. Ahli waris anugrah
36. Persamaan yang proporsional
37. Kerendahan hati sebuah perayaan
38. Otoritas
39. Bawahan
40. Pembatas kekuasaan
41. Kekuatan dalam keterbatasan
42. Tuan atas diri sendiri
43. Sebuah alam semesta yang harmonis
44. Jadilah wanita sejati
45. Keberanian sang pencipta
46. Tempat suci pribadi
47. Kesetiaan
48. Kasih dalam perbuatan
49. Kasih berarti salib
Tentang penulis
Ayat-ayat referensi
Catatan
__________________________________________________________________________________________

Buku ini saya dapatkan di semarang 18 Desember 2013. Buku ini merupakan hadiah dari mbak dwi hadi setya palupi (haiii mbak, namamu ku tuliskan juga disini). Buku ini yang membuat saya berkenalan dengan bu Elisabeth Elliot sang penulis buku. Beberapa waktu saya mengamati buku-buku tulisan beliau, wow banget. Salah satunya ya buku ini.
Mengapa "let me be a woman"?
Andai saja wanita pertama menyatakan itu pada ular? Saat itu ular menghasut dengan berkata "jika engkau memakan buah ini, maka tentunya engkau menjadi sama seperti Allah" dan wanita dalam ketundukannya kepada Allah dan berbahagia karena Allah menciptakannya sebagai wanita dan ia berkata "biarkanlah aku menjadi seorang wanita. Biarkan aku menjadi apa yang Allah inginkan untuk aku" wow, pasti ceritanya akan berbeda.
Begitu banyak wanita didunia ini yang menunjukan rasa emansipasi wanita, menuntut persamaan derajat dan ingin menjadi Pria. Terkadang kita melupakan jati diri yang Allah sudah rancang kita menjadi wanita. Beberapa orang yang tidak puas mengatakan mereka terperangkap dalam tubuh yang salah. Jadi masakan Allah salah menciptakan kita? Mengapa kita tidak cukup mengatakan "biarkan aku menjadi seorang wanita. Biarkan aku menjadi apa yang Allah inginkan"
Cara pandang membuat perbedaan didalam dunia kita. Jika engkau melihat sekilas saja rancangan surgawi paling tidak engkau akan merendahkan dirimu dan kagum pada akhirnya. Aku percaya bahwa pengertian yang benar mengenai rancangan surgawi juga akan membuatmu merasa bersyukur. Namun bagi sekelompok orang menjadi wanita adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, sebuah penderitaan. Hidup mereka merindu untuk menjadi sesuatu yang lain. Setiap makhluk Allah diberikan sesuatu yang bisa saja tidak menyenangkan, menurutku, tergantung pada cara pandang seseorang. Gajah dan tikus bisa saja mengeluh mengenai ukuran mereka, kura-kura dengan batok dipunggungnya, burung dengan berat sayapnya. Tetapi gajah tidak diciptakan untuk berlarian di balik tembok rumah, tikus tidak akan di jumpai sedang "mondar-mandir seolah-olah merek punya janji di ujung dunia" kura-kura tidak punya kebutuhan untuk terbang, begitu pula burung untuk merayap. Karunia khusus dan kemampuan setiap makhluk menunjukan keterbatasan-keterbatasannya yang khusus pula. Dan sementara burung merasa harus menanggung beban kedua sayapnya, padahal sesungguhnya sayap-sayap itulah yang menopang burung - terbang menjauh dari dunia, menuju langit, menuju kebebasan - begitu pula wanita yang menerima keterbatasan atas kewanitaannya menemukan di dalam setiap keterbatasan karunianya, panggilan istimewa baginya - sayap-sayapnya, sesungguhnya, yang membawa masuk ke dalam kemerdekaan yang sempurna, kedalam kehendak Allah.
Kebenarannya, tidak ada dari kita yang tahu kehendak Allah bagi hidupnya. Aku katakan bagi hidupnya - karena janjinya berbunyi "jika engkau berjalan langkahmu tidak akan terhambat, bila engkau berlari engkau tidak akan tersandung." Dia memberikan kita cukup cahaya hari ini, cukup kekuatan untuk sehari demi sehari, cukup manna, makanan kita "hari ini." Dan kehidupan iman adalah sebuah perjalanan dari titik A ke titik B, dari titik B ke titik C, seperti orang israel "berangkat lalu berkemah di Obot. Berangkatlah mereka dari Obot," lalu berkemah dekat reruntuhan di Abarim, di Padang gurun... Dari situ berangkatlah mereka, Lalu berkemah disungai Arnon... dari sana mereka ke Beer... dan dari padang gurun mereka ke Matana; dari Matana ke Nahaliel; dari Nahaliel ke Bamot; dari Bamot kelembah yang didaerah Moab."
Sejauh yang kita tahu, tidak ada yang terjadi di tempat-tempat ini. Obot, Abarim, Arnon, Beer, Matana, Nahaliel, Bamot tidak ada artinya bagi kita. Kerumunan yang besar itu hanya terus bergerak. Mereka berpindah dan berhenti dan membangun tenda dan berkemas lagi dan berpindah lagi dan membangun tenda lagi. Mereka mengeluh. Begitu banyak keluhan, hingga bahkan Musa, yang sangat lembut hatinya, hampir tidak tahan melihat orang-orang yang harus dipimpin oleh panggilan Allah. Namun di sepanjang waktu Allah bersama mereka, memimpin mereka, melindungi mereka, mendengar jeritan mereka, mendorong dan memimpin mereka, melindungi mereka, tahu ke mana mereka akan pergi dan apa tujuan-Nya untuk mereka dan Dia tidak pernah meninggalkan mereka.
Tidaklah sulit ketika kau membaca keseluruhan kisah pembebasan israel oleh Allah untuk melihat bagaimana setiap kejadian yang terpisah membentuk sebuah pola demi kebaikan. Kita memiliki cara pandang yang tidak dimiliki para pengelana yang menderita tersebut. Tetapi itu seharusnya menolong kita untuk mempercayai Allah mereka. Tahap-tahap dalam perjalanan mereka, sekalipun membosankan dan tidak terjadi apa-apa, merupakan bagian-bagian penting dari perjalanan menuju penggenapan janjiNya.
Kehidupan lajang mungkin hanyalah satu tahap dalam kehidupan, tetapi bahkan setiap tahap kehidupan adalah anugrah. Allah bisa menukarnya dengan anugrah lai, tetapi si penerima menerima anugrah dari-Nya dengan ucapan syukur. Anugrah hari ini untuk hari ini. Kehidupan iman di jalani sehari demi sehari, dan dijalani - tidak selalu memandang kedepan seakan-akan kehidupan "yang sesungguhnya" berada di tikungan berikutnya. Kita bertanggung jawab untuk hari ini. Hari esok masih menjadi milik Allah.
Cara engkau memelihara rumahmu, cara engkau mengatur waktumu, perawatan yang kau lakukan untuk penampilanmu, bagaimana kau membelanjakan uangmu, semuanya mengungkapkan dengan lantang mengenai apa yang engkau percayai. "Indahnya kedamaian-Mu" memancar keluar lewat keteraturan hidup . Keteraturan hidup menyatakan dengan lantang keteraturan jiwa.
Buku ini ditulis bukan untuk mengajarkan untuk lebih bersolek untuk mengikat para lelaki, namun buku ini di tulis untuk semua wanita kekasih Allah, menerima dirinya dalam ketundukannya pada penciptanya.

No comments:

Post a Comment